Edu With Steam

Latest Post

 

ilustrasi edukasi MedSos pic EduWithSTEAM.com

    Jakarta – Kasus cyberbullying di kalangan pelajar kian meroket. Tanggapan Kemendikbud? Masukkan "edukasi media sosial" ke dalam kurikulum. Tapi, benarkah guru-guru yang gagap teknologi mampu mengajarkan anak-anak digital native yang hidupnya sudah melekat dengan TikTok dan Instagram?

    Fakta Mengerikan: 1 dari 3 Siswa Alami Cyberbullying

    Data terbaru menunjukkan lonjakan drastis kasus perundungan online. Korban bukan hanya direndahkan, tapi ada yang sampai depresi dan putus sekolah. "Dulu saya di-bully karena fotoku diedit jadi meme viral. Guru hanya bilang, 'jangan dihiraukan'. Mereka tidak paham betapa sakitnya," curhat Sisi, siswi SMP di Jakarta.

    Guru Bingung, Materi Tidak Relevant

    Masalah terbesar: kebanyakan guru justru kalah paham medsos dibanding muridnya. "Saya cuma bisa ajarkan teori etika, tapi tidak tahu cara laporkan akun palsu atau atur privasi di Instagram. Murid-murid malah yang mengajari saya," aku Bu Sari, guru BK di sebuah SMA negeri.

    Sekolah Cuma Kasih Materi, Tapi Tidak Beri Solusi Praktis

    Edukasi yang diberikan seringkali hanya permukaan:

    • "Jangan bully ya" → tapi tidak diajarkan cara melapor jika dibully.

    • "Hati-hati berbagi data" → tapi tidak ada simulasi mengatur privacy settings.

    • "Berkata baik di internet" → tapi tidak ada psikolog untuk konseling korban.

    Orang Tua Lepas Tangan: "Itu Kan Tugas Sekolah"

    Di rumah, banyak orang tua yang juga tidak mampu mengawasi. "Saya sibuk kerja, anak main HP di kamar sendiri. Saya kira dia hanya nonton YouTube," kata seorang ayah. Pengawasan minim, ditambah dengan literasi digital yang rendah, membuat anak jadi mudah menjadi pelaku atau korban.

    Daripada Sekadar Wacana, Ini yang Seharusnya Dilakukan:

    1. Guru Harus Melek Digital: Pelatihan intensif, bukan sekadar seminar.

    2. Kolaborasi dengan Platform: Undang TikTok, Instagram, atau X untuk workshop langsung ke sekolah.

    3. Satgas Cyberbullying di Sekolah: Tim khusus yang merespons cepat laporan bullying, bukan menghakimi korban.

    4. Edukasi untuk Orang Tua: Sekolah harus aktif mengajak orang tua memahami dunia digital anaknya.

    Jadi, apa pendapatmu?
    Apakah edukasi medsos di sekolah akan efektif, atau hanya jadi bahan hafalan tanpa makna?

 

ilustrasi beasiswa LPDP EduWithSTEAM.com
Jakarta – Kabar buruk bagi ribuan pelajar dan profesional Indonesia yang bercita-cita melanjutkan studi dengan beasiswa LPDP. Data terbaru menunjukkan penurunan drastis jumlah penerima beasiswa LPDP pada tahun 2025. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini bentuk penghematan negara atau justru indikasi salah urus anggaran pendidikan?

Angka yang Bicara: Dari Ribuan Hanya Tinggal Ratusan?

Tahun sebelumnya, LPDP membiayai ribuan mahasiswa untuk studi di dalam dan luar negeri. Namun, pada 2025, kuota dipangkas signifikan. Seorang calon awardee yang gagal seleksi mengungkapkan kekecewaannya: "Sudah mempersiapkan diri mati-matian, tiba-tiba dikatakan kuota dikurangi. Ini seperti harapan dibangun lalu dihancurkan."

Penyebab Turun: Penghematan atau Alasan Politikus?

Pemerintah beralasan kebijakan ini dilakukan untuk efisiensi anggaran dan memprioritaskan sektor lain. Namun, pengamat pendidikan menilai ini sebagai langkah mundur. "Di saat negara lain meningkatkan investasi pendidikan, kita justru memotongnya. Ini jelas menghambat lahirnya talenta-talenta terbaik bangsa," tegas Dr. Ahmad Mahendra, pengamat kebijakan pendidikan.

Dampak pada Mahasiswa: Mimpi Pupus, Wawasan Tertinggal

Banyak pelajar yang sudah menyiapkan dokumen dan rencana studi harus mengubur impian mereka. *"LPDP adalah jalan satu-satunya bagi saya untuk bisa S2 di luar negeri. Sekarang, saya harus mencari alternatif yang hampir tidak ada,"* keluh Sari, sarjana berprestasi asal Surabaya.

Pertanyaan Kritis: Kemana Larinya Anggaran Pendidikan?

Masyarakat pun mulai bertanya-tanya:

  • Apakah dana dialihkan untuk proyek lain yang tidak urgent?

  • Apakah ada kebocoran dalam pengelolaan anggaran?

  • Mengapa beasiswa untuk generasi terbaik justru dikurangi?

Kesimpulan: Masa Suram bagi Pendidikan Indonesia?

Penurunan jumlah penerima beasiswa LPDP bukan hanya tentang angka, tetapi tentang masa depan Indonesia. Jika akses pendidikan tinggi berkualitas dibatasi, maka negara ini hanya akan menghasilkan generasi yang tertinggal dalam persaingan global.

Apa pendapatmu?
Setuju dengan penghematan ini atau justru melihatnya sebagai pembunuhan karakter bangsa?


 

ilustrasi ekskul pic EduWithSTEAM.com

Bandung - Kemendikbud resmi mengumumkan 8 ekstrakurikuler yang bisa menjadi tiket masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tanpa tes mulai 2025. Kebijakan ini langsung menyulut kontroversi: Apakah ini bentuk apresiasi terhadap bakat non-akademik, atau justru menginjak-injak keringat anak yang berjuang lewat jalur akademik?

Ini Dia 8 "Jalan Tol" Baru Masuk PTN:

  1. Olahraga (sepak bola, futsal, basket, dll)

  2. Seni (tari, musik, teater)

  3. Pramuka

  4. Kewirausahaan

  5. Debat & Jurnalistik

  6. Robotics & Coding

  7. Pecinta Alam

  8. Palang Merah Remaja (PMR)

"Anak Saya Ranking 1, Kalah Sama Kiper Timnas U-19?"

Kebijakan ini dipertanyakan banyak orang tua. "Ini tidak adil! Anak saya belajar mati-matian dari pagi sampai malam, ranking 1, tapi bisa kalah tempat dengan anak yang cuma jago main futsal. Di mana keadilannya?" protes Andi, orang tua dari seorang calon mahasiswa di Tangerang.

Niat Baik yang Berpotensi Disalahgunakan:

Para pengamat pendidikan khawatir kebijakan ini akan membuka kotak Pandora baru.

  • Pemalsuan Sertifikat: Bagaimana memastikan prestasi di ekstrakurikuler itu asli?

  • Kesenjangan: Anak dari sekolah elite dengan fasilitas klub olahraga dan seni yang lengkap akan lebih diuntungkan.

  • Devaluasi Nilai Akademik: Apakah gelar "Juara 1 Lomba Tari Daerah" setara dengan nilai rapor sempurna dan juara olimpiade sains?

Pihak Kampus Bingung: "Kami Butuh Mahasiswa, Bukan Atlet!"

Sebagian dosen diam-diam meragukan kebijakan ini. "Kami di teknik elektro butuh calon mahasiswa yang paham matematika dan fisika, bukan striker andalan. Ini bisa jadi bumerang untuk kualitas pendidikan tinggi kita," ujar seorang dosen yang enggan namanya disebutkan.

Mimpi Buruk atau Peluang Emas?

Di satu sisi, kebijakan ini adalah angin segar bagi siswa berbakat non-akademik yang sering dipandang sebelah mata. Namun, tanpa sistem verifikasi yang super ketat, transparan, dan adil, kebijakan mulia ini berisiko besar:

  1. Menjadi Ajang Korupsi baru untuk "jual-beli" sertifikat prestasi.

  2. Menciptakan generasi mahasiswa yang passion-nya di lapangan tapi tidak siap dengan beban akademik kampus.

  3. Mengubur impian anak-anak rajin yang mengandalkan jalur akademik.

Jadi, apa pendapatmu?
Apakah ini langkah revolusioner yang tepat atau kesalahan besar yang akan merusak masa depan pendidikan Indonesia?


 

ilustrasi lulusan jurusan IPS pic EduWithSTEAM.com

Memilih jurusan kuliah ibarat menentukan jalan hidup. Namun, sebuah survey terbaru justru mengungkap betapa banyak lulusan yang merasa salah memilih jalan tersebut, khususnya di rumpun Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Data dari ZipRecruiter, sebuah platform perekrutan ternama di AS, menunjukkan bahwa sejumlah jurusan populer justru menempati peringkat teratas dalam daftar "jurusan dengan penyesalan tertinggi" di kalangan lulusannya. Hasilnya mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan penting bagi calon mahasiswa.

Sosiologi memuncaki daftar dengan 72% lulusannya menyatakan menyesal dengan pilihan mereka. Jurusan ini diikuti oleh Ilmu komunikasi (64%), dan Seni Rupa/Performa (61%) yang menutup tiga besar.

Lalu, apa saja 10 besar jurusan dengan penyesalan tertinggi?

  1. Sosiologi (72%)

  2. Ilmu Komunikasi (64%)

  3. Seni Rupa/Performa (61%)

  4. Pendidikan (60%)

  5. Hukum (59%)

  6. Bahasa Asing & Sastra (57%)

  7. Ilmu Politik (56%)

  8. Biologi (52%)

  9. Bahasa Inggris & Sastra (52%)

  10. Sejarah (51%)

Mengapa Banyak yang Menyesal?

Alasan utama yang mendominasi adalah prospek kerja yang dianggap terbatas dan kurang menjanjikan secara finansial. Banyak lulusan merasa bahwa ilmu yang mereka pelajari di bangku kuliah tidak langsung applicable dengan tuntutan skill di dunia kerja.

"Saya merasa jurusan saya terlalu umum dan tidak memberikan saya skill spesifik yang dicari perusahaan," ujar salah satu responden, yang mewakili suara 36% peserta survey.

Tapi, Apakah Semuanya Suram?

Tidak juga. Survey yang sama mengungkap jurusan-jurusan dengan tingkat penyesalan terendah, yang didominasi oleh bidang sains dan terapan seperti Ilmu Komputer, Keperawatan, Bisnis, dan Teknik. Hampir semua lulusan di bidang ini merasa puas karena merasa memiliki skill yang jelas dan permintaan pasar kerja yang tinggi.

Pelajaran untuk Calon Mahasiswa

Data ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membuka mata. Memilih jurusan tidak boleh hanya berdasarkan passion semata atau karena ikut-ikutan tren. Penelitian mendalam tentang kurikulum, prospek karir, dan skill yang akan didapat adalah kunci utama.

"Penting untuk menggali informasi sebanyak mungkin, tidak hanya dari website kampus, tetapi juga dari alumni yang sudah bekerja. Tanyakan pengalaman mereka," saran seorang konselor pendidikan.

Pada akhirnya, jurusan apapun bisa sukses selama diiringi dengan planning yang matang, skill tambahan di luar perkuliahan, dan networking yang baik. Yang terpenting adalah memilih dengan sadar, bukan asal pilih.

EDUdesign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget